Menikmati Dunia Berhenti di Kampung Sindang barang
BOGOR
- Memasuki Kampung Budaya Sindangbarang seakan melangkah ke dimensi
lain. Pintu masuk berukuran dua kali lebar badan orang dewasa itu seolah
menjadi penyekat dua wilayah yang sangat berbeda. Semrawut-rapi,
buruk-baik, berisik-tenang, dan hal-hal lain yang bertolak belakang.
Ketika berada di luar, waktu terasa berjalan cepat, tapi saat masuk ke kompleks kampung budaya yang berada di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor ini, seolah melambat atau berhenti sama sekali. Tidak ada godaan materi yang membuncah. Menimbulkan kedamaian di hati serta pikiran.
Perasaan tenang yang muncul ini mungkin ada hubungannya mengapa kampung ini dinamakan Sindangbarang. Dalam bahasa Sunda, Sindang berarti berhenti, sedangkan Barang diartikan sebagai duniawi. Ini menunjukkan bahwa Sindangbarang adalah tempat/lokasi di mana tidak ada lagi segala hal yang bersifat keduniaan.
Saat pertama melangkah masuk, pengunjung langsung disuguhi suasana pedesaan yang tenang. Rumah-rumah adat Sunda yang terbuat dari kayu beratapkan ijuk dan berdinding gedeg berjejer rapi dengan lapangan rumput yang rapi di depannya.
Bentuk bangunan kayu itu berbeda-beda tergantung fungsinya. Deretan pertama di sisi kanan lapangan adalah Saung Lisung, tempat menumbuk padi. Lalu di sisi selatan lapangan terdapat Imah Gede, tempat tinggal kepala adat. Kemudian di sebelahnya ada Girang Serat, rumah penasehat raja yang sekarang difungsikan sebagai kantor Kampung Budaya Sindangbarang.
Di sisi barat lapangan ada bangunan kayu sebagai tempat berlatih gamelan yang diberi nama Saung Talu. Kemudian ada pula Bale Riungan yang terletak di sebelah utara lapangan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk berdiskusi atau bermusyawarah mufakat.
Melewati lapangan, pengunjung benar-benar dibawa ke suasana masa lalu yang jauh dari ingar bingar kota. Jalanan setapak dengan kanan kiri pohon menuju rumah-rumah pondokan yang tertata rapi. Rumah yang berada di kanan jalan setapak bernama Panengen sementara yang di sisi kiri jalan disebut Pangiwa.
Seperti di kampung-kampung zaman dahulu, di kompleks rumah-rumah itu juga terdapat Bale Tajug yang berfungsi sebagai musala dan pos ronda lengkap dengan kentongannya. Para pengunjung yang menginap bisa bernostalgia bergadang di pos ronda sambil bermain gaple atau sejenisnya.
Untuk pasokan air, tidak perlu diragukan lagi kesegarannya. Meski menggunakan perkakas masa kini berupa keran, tapi pasokan air bukan dari sumur dalam atau PDAM. Air mengalir dari sumber mata air Gunung Salak yang dingin dan segar.
Kampung Tertua
Sindang barang diyakini sebagai kampung tertua di Kabupaten/Kota Bogor. Menurut sumber naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran, kampung ini telah ada sejak Kerajaan Sunda pada abad XII. Semasa kerajaan ini terdapat 3 kasta, yakni golongan Raja (raja, keluarga, pengawal, abdi dalem), Rama (pejabat dan pegawai pemerintah) dan Resi (orang suci/penyair/tokoh religi/ahli kanuragan).
"Nah, Sindangbarang ini merupakan wilayah keresian," kata Kokolot Kampung Sindangbarang, Bogor, Ukat Sukatma saat berbincang dengan My Blog My Adventure.
Sebagai wilayah keresian, Sindangbarang dijadikan tempat menggembleng para prajurit kerajaan dan pusat budaya serta kesenian. Tak heran jika kemudian peninggalan seni budaya Sunda masih sangat lekat di Kampung Sindangbarang hingga saat ini. Sebut saja rengkong, angklung gubrag, tutunggulan, jaipong, calung, angklung, kendang penca, dan reog.
Baca juga : 10-restoran-tempat-makan-enak-di-bogor.
Ketika berada di luar, waktu terasa berjalan cepat, tapi saat masuk ke kompleks kampung budaya yang berada di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor ini, seolah melambat atau berhenti sama sekali. Tidak ada godaan materi yang membuncah. Menimbulkan kedamaian di hati serta pikiran.
Perasaan tenang yang muncul ini mungkin ada hubungannya mengapa kampung ini dinamakan Sindangbarang. Dalam bahasa Sunda, Sindang berarti berhenti, sedangkan Barang diartikan sebagai duniawi. Ini menunjukkan bahwa Sindangbarang adalah tempat/lokasi di mana tidak ada lagi segala hal yang bersifat keduniaan.
Saat pertama melangkah masuk, pengunjung langsung disuguhi suasana pedesaan yang tenang. Rumah-rumah adat Sunda yang terbuat dari kayu beratapkan ijuk dan berdinding gedeg berjejer rapi dengan lapangan rumput yang rapi di depannya.
Bentuk bangunan kayu itu berbeda-beda tergantung fungsinya. Deretan pertama di sisi kanan lapangan adalah Saung Lisung, tempat menumbuk padi. Lalu di sisi selatan lapangan terdapat Imah Gede, tempat tinggal kepala adat. Kemudian di sebelahnya ada Girang Serat, rumah penasehat raja yang sekarang difungsikan sebagai kantor Kampung Budaya Sindangbarang.
Di sisi barat lapangan ada bangunan kayu sebagai tempat berlatih gamelan yang diberi nama Saung Talu. Kemudian ada pula Bale Riungan yang terletak di sebelah utara lapangan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk berdiskusi atau bermusyawarah mufakat.
Melewati lapangan, pengunjung benar-benar dibawa ke suasana masa lalu yang jauh dari ingar bingar kota. Jalanan setapak dengan kanan kiri pohon menuju rumah-rumah pondokan yang tertata rapi. Rumah yang berada di kanan jalan setapak bernama Panengen sementara yang di sisi kiri jalan disebut Pangiwa.
Seperti di kampung-kampung zaman dahulu, di kompleks rumah-rumah itu juga terdapat Bale Tajug yang berfungsi sebagai musala dan pos ronda lengkap dengan kentongannya. Para pengunjung yang menginap bisa bernostalgia bergadang di pos ronda sambil bermain gaple atau sejenisnya.
Untuk pasokan air, tidak perlu diragukan lagi kesegarannya. Meski menggunakan perkakas masa kini berupa keran, tapi pasokan air bukan dari sumur dalam atau PDAM. Air mengalir dari sumber mata air Gunung Salak yang dingin dan segar.
Kampung Tertua
Sindang barang diyakini sebagai kampung tertua di Kabupaten/Kota Bogor. Menurut sumber naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran, kampung ini telah ada sejak Kerajaan Sunda pada abad XII. Semasa kerajaan ini terdapat 3 kasta, yakni golongan Raja (raja, keluarga, pengawal, abdi dalem), Rama (pejabat dan pegawai pemerintah) dan Resi (orang suci/penyair/tokoh religi/ahli kanuragan).
"Nah, Sindangbarang ini merupakan wilayah keresian," kata Kokolot Kampung Sindangbarang, Bogor, Ukat Sukatma saat berbincang dengan My Blog My Adventure.
Sebagai wilayah keresian, Sindangbarang dijadikan tempat menggembleng para prajurit kerajaan dan pusat budaya serta kesenian. Tak heran jika kemudian peninggalan seni budaya Sunda masih sangat lekat di Kampung Sindangbarang hingga saat ini. Sebut saja rengkong, angklung gubrag, tutunggulan, jaipong, calung, angklung, kendang penca, dan reog.
Baca juga : 10-restoran-tempat-makan-enak-di-bogor.
0 Response to "Menikmati Dunia Berhenti di Kampung Sindang barang"
Posting Komentar